Kebohongan dalam pencitraan (qureta.com) |
Opini publik saat ini seperti kata kunci untuk membuka seluruh pintu kekuasaan yang selama ini tak mudah disentuh oleh rakyat. Di sisi lain, legitimasi para pemimpin bergantung pada seberapa ‘aspiratif’ nya mereka terhadap opini publik yang berkembang. Hebatnya lagi, sebagian besar opini publik yang mencuat adalah produk ‘iklanisasi’ media-media pers baik cetak maupun elektronik.
Konon media pers saat ini pun punya telah bermetamorfosir menjadi satu kekuatan besar dan turut diperhitungkan dalam sebuah negara yang menganut sistim demokrasi . Kekuasaan dalam membentuk dan mempengaruhi opini-opini rakyat membuat pers kini berdampingan dengan kekuasaan lain yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Namun kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bijaksanakah jika para pemimpin negeri ini lebih cenderung mengambil kebijakan dengan mengikuti opini publik yang berkembang yang tentu saja belum tentu benar? Apabila sebuah keputusan didasari oleh tekanan publik serta keinginan sang pemimpin untuk menyenangkan hati rakyat maka kemungkinan besar akan mengabaikan nilai-nilai strategis dari keputusan tersebut.
Akibatnya, program-program pembangunan pun cenderung disusun untuk jangka pendek semata-mata hanya untuk memberikan sensasi-sensasi sesaat kepada rakyat. Jika hal itu terjadi maka sulit untuk berharap bahwa kita tengah membangun landasan yang kuat untuk pembangunan kita di masa mendatang.
Bagaimana dengan hari ini? Saya bukanlah seorang pakar dalam ilmu kepemimpinan namun bahkan seorang penjual sayur pun tahu bahwa negara ini dikelola melalui opini publik , bukan oleh seorang pemimpin yang berani mengambil sikap dan keputusan yang besar dan berani. Sebuah ungkapan mengatakan bahwa pemimpin bodoh mengikuti opini publik sementara pemimpin bijak membuat keputusannya sendiri.
wam's
0 Komentar